Langsung ke konten utama

Pengertian Riba dan Pembagian Nya


RIBA
A.     Pengertian Riba
Dalam istilah hukum Islam, Riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.
B.     Hukum Riba
Para ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara Riba ini hukumnya Haram. Keharaman Riba ini dapat dijumpai dalam Ayat-ayat al-Quran dan Hadits-hadits Rosulullah SAW. Menurut al-Marogi, mufassir dari Mesir mengisyaratkan bahwa Riba memiliki tahapan, yaitu :[1]
Tahap pertama, Allah menunjukan bahwa Riba itu bersifat negative Pernyataan ini disampaikan Allah dalam Quran surah al-Rum, 30:39 yang berbunyi :
وَمَا أَتَيْتُمْ مِنْ رِبَا لِيَرْبُوْا فِيْ اَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْا عِنْدَ اللهِ...
Dan suatu Riba (kelebihan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,  Riba itu tidak menambah disisi Allah…
Ayat ini merupakan ayat yang pertama yang berbicara tentang riba, yang menurut para mufasir ayat ini termasuk ayat Makiyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekah). Ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-kurtubi menyatakan bahwa Ibn Abbas mengartikan riba dalam ayat ini dengan “hadiah” yang dilakukan orang-orang yang mengharapkan imbalan lebih, Menurutnya, Riba dalam Ayat ini termasuk Riba mubah.
            Tahap kedua, Allah telah mengisyaratkan akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba dikalangan masyarakat Yahudi. Hal ini Allah sampaikan dakma quran surah An-Nisa Ayat 161 yang berbunyi :
وَ أَخَذَهُمُ الرِّبَوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَأَكَلِهِمْ أَقْوَالَ النَّاسِ باِلْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيْمًا
Dan disebabkan mereka makan Riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap ketiga, allah telah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlifat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini Allah sampaikan dalam surah al-Imran ayat 130 yang berbunyi : [2]
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنٌوْا لَاتَأْكُلُ الرِّبَوا أَضْعَافًا مُضُاعَفَةً..
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlifa ganda..
Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuk Nya. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda riba, firman Nya yang berbunyi
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. 2 : 275).
Alasan keharaman riba dalam sunnah Rosulullah SAW. Dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim, tentang tujuh bentuk dosa besar, diantaranya adalah memakan Riba.
Hadits tentang keharaman riba dalam hadits yang diriwayatan oleh Abdullah ibn Mas’ud dikatakan : Rosulullah SAW. Melaknat para pemakan riba, yamg memberi makan dengan cara Riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya (HR. Abu Daud, dan hadits yang sama juga diriwayatkan oleh Muslim dan Jabir ibn Abdullah)
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena di dalamnya terdapat empat unsur yang merusak:[3]
1.      Menimbulkan permusuhan dan menghilangkarn semangat tolong menolong. Semua agama terutama Islam sangat menyeru tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan egois serta orang yang mengeksploitasi kerja orang lain.
2.      Riba akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain. Islam menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata pencarian, menuntun orang kepada keahlian dan akan mengangkat semangat seseorang.
3.      Riba sebagai salah satu cara menjajah.
4.      Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah
Dampak negatif yang diakibatkan dari riba sebagaimana tersebut di atas sangat berbahaya bagi kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat dan berbangsa.
Jika praktik riba ini tumbuh subur di masyarakat, maka terjadi sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah. Orang kaya semakin kaya dan miskin semakin tertindas.
C.     Macam-macam Riba
Para ulam fiqh membagi riba menjadi Dua macam yatitu riba Nasi’ah dan riba al fadhl.
1.      Riba Nasi’ah
Menurut Satria Efendi, Riba Nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa risiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam. Riba nasiah ini terjadi dalam utang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan Riba Duyun dan disebut juga dengan Riba Jahiliyah sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba.[4]
Praktik Riba Nasiah ini pernah dipraktikkan oleh kaum Thaqif yang biasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran, Sebagian tokoh sahabat Nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, pernah mempraktikkannya, sehingga turun ayat yang mengharamkannya. Ayat pengharaman riba ini membuat heran orang musyrik terhadap larangan praktek riba, karena telah menganggap jual beli itu sama dengan riba.
 Riba nasi’ah mengandung tiga unsur :
1.      Adanya tambahan permbayaran atau modal yang dipinjamkan.
2.      Tambahan itu tanpa risiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
3.      Tambahan itu disyaratkan dalam pemberian piutang dan tenggang waktu.
Tambahan dalam membayar utang oleh orang yang berutang ketika membayar dan tanpa ada syarat sebelumnya. Hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik) dan Rasulullah pernah melakukannya.[5]
 Di mana beliau pernah berutang kepada seseorang seekor hewan. Kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya daripada hewan yang beliau utangi itu, kemudian beliau bersabda:
فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً (متفق عليه)
Artinya: "Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar utangnya". (HR. Bukhari Muslim).
Untuk membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji. Para fuqaha menjelaskan, tambahan pembayaran utang yang termasuk riba jika hal itu disyaratkan pada waktu akad. Artinya seseorang mau memberikan utang dengan syarat ada tambahan dalam pengembaliannya. Ini adalah tindakan yang tercela karena ada kezaliman dan pemerasan. Adapun tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu akad. Tambahan itu diberikan oleh orang yang berutang ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda rasa terima kasih kepada orang yang telah memberikan utang kepadanya.
2.      Riba Fadhal
 Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya. Maka Rasul melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, kecuali dengan sama banyak dan secara tunai.
Sebagaimana hadits Rosulullah beliau bersabda : Barang siapa menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang  mengambil dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari).
Dari pengertian di atas, para fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara benda-benda sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan perak.
Semua agama samawi (Islam, Yahudi, dan Nasrani) mengharamkan riba karena dianggap sebuah praktik yang sangat membahyakan. Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq :
“Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan kamu meminta keuntungan hartamu. Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat, "jika saudaramu membutuhkan sesuatu maka tanggunglah. Jangan kau meminta darinya keuntungan dan manfaat". Paus Pius berkata "sesungguhya pemakan riba mereka kehilangan harga diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikapankan setelah mereka mati".
Al-Qur'an menyinggung keharaman riba secara kronologis di berbagai tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah swt. surat ar-Ruum ayat 39 :
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat untuk mencapai keridaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS.: 30/39).
Pada priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS: 3/130).
Dan ayat terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah 278-279
.يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
.فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُون
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Q.S : Al-Baqarah : 278-279)
Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak memperbolehkan pengembalian utang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram, termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadis yang lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
لَعَن اللهُ ءَاكِلَ الرِّبَا, وَمؤْكَلَهُ, وَشَاهِدَيْهِ, وَكَاتِبِهِ. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: "Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makanya, saksi-saksinya, dan penulisnya". (HR. Bukhari dan Muslim)
D.    Pendapat Para Ulama
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan illat (penyebab) yang menyebabkan keharaman Riba an-nasiah dan riba al-fadhl.[6]
1.      pendapat ulama hanafiyah
Dalam salah satu riwayat dari ahmad ibn hanbal menetapkan bahwa yang menjadi illat keharaman riba al-fadhl adalah kelebihan barang atau harga dari benda sejenis yang diperjualbelikan menggunakan a-wazn dan al-kail. Berdasarkan illat ini mereka tidak mengharamkan jual beli pada rumah, tanah, hewan, dan benda lain yang dijual dengan satuan, sekalipun sejenis, karena benda-benda ini dijual berdasarkan nilainya bukan berdasarkan al-wazn dan al-kail.
Adapun illat dalam keharaman riba an-nasiah menurut ulama hanafiyah adalah kelebihan pembayaran dari harga barang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu.
2.      Pendapat ulama malikiyah dan syafi’iyah
ulama malikiyah dan syafi’iyah berpendirian bahwa illat keharaman riba al-fadhl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga sesuatu, baik pada emas dan perak itu telah dibentuk, seperti cincin atau kalung, maupun belum, seperti emas batangan. Oleh seab itu apapun bentuknya emas dan perak, apabila sejenis tidak boleh diperjual belikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Dua gram cincin emas ditukar dengan dua gram emas batangan. Jika dilebihkan diantara keduanya maka masuk riba al-fadhl dan apabila kelebihannya dikaitkan dengan pembayran tunda maka termasuk riba an-nasiah.
E.     Hikmah Keharaman Riba
Islam dengan tegas dan pasti mengharamkan riba. Hal itu untuk menjaga kemaslahatan hidup manusia dari kerusakan moral (akhlak), sosial, dan ekonominya.
Menurut Yusuf Oardhawi, para ulama telah menyebutkan paniano lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain:
1.      Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
2.      Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya. Hal ini akan memutus kreativitas hidup manusia di dunia. Hidupnya bergantung kepada riba yang diperolehnya tanpa usaha, Hal ni merusak tatanan ekonomi.
3.      Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang. Keharaman riba membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tinggi.
4.      Biasanya orang memberi utang adalah orang kaya dan orang yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmah Allah SWT. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan social.[7]
F.      Kesimpulan
Riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.
Para ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara Riba ini hukumnya Haram. Para ulam fiqh membagi riba menjadi Dua macam yatitu riba Nasi’ah dan riba al fadhl.
Riba Nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa risiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.
Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya
Menurut Yusuf Oardhawi, para ulama telah menyebutkan paniano lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain:
1.      Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
2.      Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya.
3.      Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang.
4.      Biasanya orang memberi utang adalah orang kaya dan orang yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmah Allah SWT. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan social.

DAFTAR PUSTAKA
Haroen Nasrun, fiqh muamalah (Penerbit  Gaya Media Pramata Jakarta, tahun2007)
Yusuf Qardhawi, Dr., al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Maktabah al-Islamy, 1994), Cet. Ke-15
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah (Beirut: Dar Al-Fikr,2006), Juz III





[1] Nasrun Haroen, MA. Fiqh Muamalah, (Penerbit  Gaya Media Pramata Jakarta) Hal 182
[2] Nasrun Haroen, MA. Fiqh Muamalah, (Penerbit  Gaya Media Pramata Jakarta) Hal 182
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah (Beirut: Dar Al-Fikr,2006), Juz III Hlm. 868.
[4] Satria Efendi, Riba dalam Pandangan Fiqh, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm. 147
[5] Quraish Shihab, Riba Menurut al-Qur'an, Kajian Islam tentang Berbagai Masulah Kontemporer, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm. 136.
[6] Nasrun Haroen, MA. Fiqh Muamalah, (Penerbit  Gaya Media Pramata Jakarta) Hal 186
[7] Yusuf Qardhawi, Dr., al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Maktabah al-Islamy, 1994), Cet. Ke-15, hlm. 242-243

Komentar

Postingan populer dari blog ini

belajar nagham Al-Quran Maqam bayyati

Maqam Bayyati Maqam (Nada) Bayyati merupakan salah satu dari tujuh macam lagu yang populer dalam dunia Tilawatil Quran. Oleh para qori Mesir, Bayyati merupakan sebuah standar lagu yang sering dibawakan dan ditempatkan sebagai lagu pertama dan lagu penutup. Masyarakat Mesir biasa menggunakan lagu ini pada perhelatan, seperti ucapan penyerahan pembelai. Penggunaan lagu ini pada ayat-ayat Al- Quran biasanya pada ayat-ayat berita dengan nada Qarar atau Nawa. Di Indonesia hal ini sudah bermasyarakat dan diberlakukan sebagai salah satu kreteria penilaian pada MTQ/STQ dari tingkat kabupaten sampai tingkat nasional khususnya pada babak penyisihan atau seni final. Bayyati memiliki 4 (empat) tingkatan tangga nada (Scale): 1.Qarar (Dasar) 2.Nawa (Menengah) 3.Jawab (Tinggi) 4.Jawabul Jawab (Tertinggi) Sedangkan Husaini dan syuri kedua duanya merupakan variasi khusus dari bayyati. Khusaini ditempatkan pada tingkatan nada setengah Nawa sebelum Jawab. Sedangkan Syuri seb...

Belajar Nagham Al-Quran Maqam Nahawand

Assalamualaikum Wr Wb Teman teman sahabat qory dan qoriah kemarin kita sudah membahas pelajaran tentang naghom alquran dari Bayyati, Shaba kemudian yang terakhir yaitu pada Nagham Hijaz. Maka kali ini kita akan lanjut ke pembelajaran yaitu pada Nagham Nahawand. Mudah-mudahan sahabat qory qoriah semua diberikan kemudahan dan keistiqomahan Amiin Sebagaimana maqam (lagu) hijaz, Nahawand memiliki tingkatan suara yang sama yakni 4 tingkatan nada, diantaranya : 1.       Awal maqam 2.       Nawa 3.       Jawab 4.       Quflah mahur, adalah nada akhir khusus yang dimiliki oleh lagu Nahawand dan lazimya terdengar pada akhir awal maqam Nahawand. Maqam ini memiliki karakter sedih, sehingga lagu ini sesuai untuk dilantunkan ayat-ayat yang bernuansa kesedihan. Berikut penerapan lagu Nahawand dalam bentuk tausyikh : نهاوان أول المقام :  اَلَّيْلُ مِنْ حَوْلِيْ هُدُوْءٌ قَات...

Tilawah Maqam Shaba Dra. Hj Maria Ulfa Ma

Assalamualaikum Wr Wb Sahabat Qory dan Qoriah Alhamdulillah setelah kemarin kita belajar tilawah maqam bayyati, sekarang kita berpindah ke Maqam Shoba yaitu salah satu nadha tilawah dari tujuh macam nadha. Kemudian maqam ini memiliki karakter yang halus dan lembut, nuansanya penuh dengan kesedihan sehingga sangat menggugah perasaan (emosi) jiwa. Biasanya Ayat-ayat ini dibawakan saat membaca Ayat-ayat yang didalamnya mengandung hari kiamat atau pembalasan, azab dan doa-doa. Kemudian perlu juga teman-teman qory dan qoriah ketahui nadha Shoba ini lumayan mudah dikuasai dibanding dengan nadha sebelumnya, adapun tingakatan nadha pada maqam Shoba ini memiliki empat tingkatan nada. Tingkatan nadha Maqam Shoba : 1.       Awal Maqam 2.       Asyiran (Nawa) 3.       Ajami 4.       Quflah bustanjar, Nada ini merupakan Nada Khusus di Akhir nadha Shaba Adapaun penerapan maq...