RIBA
A.
Pengertian Riba
Dalam istilah hukum Islam, Riba berarti
tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam
untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang
meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.
B.
Hukum Riba
Para ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara Riba
ini hukumnya Haram. Keharaman Riba ini dapat dijumpai dalam Ayat-ayat al-Quran
dan Hadits-hadits Rosulullah SAW. Menurut al-Marogi, mufassir dari Mesir
mengisyaratkan bahwa Riba memiliki tahapan, yaitu :[1]
Tahap pertama, Allah
menunjukan bahwa Riba itu bersifat negative Pernyataan ini disampaikan Allah
dalam Quran surah al-Rum, 30:39 yang berbunyi :
وَمَا
أَتَيْتُمْ مِنْ رِبَا لِيَرْبُوْا فِيْ اَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْا
عِنْدَ اللهِ...
Dan suatu Riba (kelebihan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, Riba itu tidak
menambah disisi Allah…
Ayat ini merupakan ayat yang pertama yang berbicara tentang riba,
yang menurut para mufasir ayat ini termasuk ayat Makiyah (ayat-ayat yang
diturunkan pada periode Mekah). Ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini tidak
berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-kurtubi menyatakan bahwa Ibn Abbas
mengartikan riba dalam ayat ini dengan “hadiah” yang dilakukan orang-orang yang
mengharapkan imbalan lebih, Menurutnya, Riba dalam Ayat ini termasuk Riba
mubah.
Tahap kedua,
Allah telah mengisyaratkan akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik
riba dikalangan masyarakat Yahudi. Hal ini Allah sampaikan dakma quran surah
An-Nisa Ayat 161 yang berbunyi :
وَ أَخَذَهُمُ الرِّبَوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَأَكَلِهِمْ أَقْوَالَ
النَّاسِ باِلْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيْمًا
Dan disebabkan mereka makan Riba, padahal
sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya, dan karena mereka memakan
harta orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap ketiga, allah telah mengharamkan salah satu
bentuk riba, yaitu yang bersifat berlifat ganda dengan larangan yang tegas. Hal
ini Allah sampaikan dalam surah al-Imran ayat 130 yang berbunyi : [2]
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنٌوْا لَاتَأْكُلُ الرِّبَوا
أَضْعَافًا مُضُاعَفَةً..
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlifa ganda..
Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total
dengan segala bentuk Nya. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual beli
sangat berbeda riba, firman Nya yang berbunyi
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا ۚ
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. 2 : 275).
Alasan keharaman riba dalam sunnah
Rosulullah SAW. Dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim, tentang tujuh
bentuk dosa besar, diantaranya adalah memakan Riba.
Hadits tentang keharaman riba dalam hadits
yang diriwayatan oleh Abdullah ibn Mas’ud dikatakan : Rosulullah SAW.
Melaknat para pemakan riba, yamg memberi makan dengan cara Riba, para saksi
dalam masalah riba, dan para penulisnya (HR. Abu Daud, dan hadits yang sama
juga diriwayatkan oleh Muslim dan Jabir ibn Abdullah)
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena di
dalamnya terdapat empat unsur yang merusak:[3]
1. Menimbulkan permusuhan dan menghilangkarn semangat tolong
menolong. Semua agama terutama Islam sangat menyeru tolong
menolong dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan egois
serta orang yang mengeksploitasi kerja orang lain.
2.
Riba
akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan
harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di
pohon lain. Islam menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka
bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata pencarian, menuntun orang
kepada keahlian dan akan mengangkat semangat seseorang.
3.
Riba
sebagai salah satu cara menjajah.
4. Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang
memerlukan dengan baik untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah
Dampak negatif yang diakibatkan dari riba sebagaimana tersebut di
atas sangat berbahaya bagi kehidupan manusia secara individu, keluarga,
masyarakat dan berbangsa.
Jika praktik riba ini tumbuh subur di masyarakat, maka terjadi
sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum
lemah. Orang kaya semakin kaya dan miskin semakin tertindas.
C.
Macam-macam Riba
Para ulam fiqh
membagi riba menjadi Dua macam yatitu riba Nasi’ah dan riba al fadhl.
1.
Riba Nasi’ah
Menurut Satria Efendi, Riba Nasiah
adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang
harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa risiko sebagai
imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam. Riba nasiah ini terjadi dalam utang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan Riba Duyun dan disebut juga dengan Riba Jahiliyah
sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan
membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan
sebutan riba.[4]
Praktik Riba Nasiah ini pernah dipraktikkan oleh kaum Thaqif
yang biasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran
tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi
tenggang waktu pembayaran, Sebagian tokoh sahabat Nabi, seperti paman Nabi,
Abbas dan Khalid bin Walid, pernah mempraktikkannya, sehingga turun ayat yang
mengharamkannya. Ayat pengharaman riba ini membuat heran orang musyrik terhadap
larangan praktek riba, karena telah menganggap jual beli itu sama dengan riba.
Riba nasi’ah mengandung tiga
unsur :
1.
Adanya
tambahan permbayaran atau modal yang dipinjamkan.
2.
Tambahan
itu tanpa risiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
3.
Tambahan
itu disyaratkan dalam pemberian piutang dan tenggang waktu.
Tambahan dalam
membayar utang oleh orang yang berutang ketika membayar dan tanpa ada syarat
sebelumnya. Hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik) dan
Rasulullah pernah melakukannya.[5]
Di mana beliau pernah berutang kepada
seseorang seekor hewan. Kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua
umurnya daripada hewan yang beliau utangi itu, kemudian beliau bersabda:
فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ
أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً (متفق عليه)
Artinya: "Sesungguhnya sebaik-baik kamu
adalah orang yang paling baik dalam membayar utangnya". (HR.
Bukhari Muslim).
Untuk membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan
terpuji. Para fuqaha menjelaskan, tambahan pembayaran utang yang termasuk riba
jika hal itu disyaratkan pada waktu akad. Artinya seseorang mau memberikan
utang dengan syarat ada tambahan dalam pengembaliannya. Ini adalah tindakan
yang tercela karena ada kezaliman dan pemerasan. Adapun tambahan yang terpuji
itu tidak dijanjikan pada waktu akad. Tambahan itu diberikan oleh orang yang
berutang ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda
rasa terima kasih kepada orang yang telah memberikan utang kepadanya.
2. Riba Fadhal
Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang
kedudukannya sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan kata
lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah
yang sudah jelas keharamannya. Maka Rasul melarang menjual emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, kecuali
dengan sama banyak dan secara tunai.
Sebagaimana hadits Rosulullah beliau bersabda : Barang siapa
menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil dan yang memberi sama hukumnya (HR.
Bukhari).
Dari pengertian di atas, para fuqaha menyimpulkan bahwa riba
fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara
benda-benda sejenis, seperti emas dengan
emas, perak dengan perak.
Semua agama samawi (Islam, Yahudi, dan Nasrani) mengharamkan riba
karena dianggap sebuah praktik yang sangat membahyakan.
Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana
dikutip oleh Sayyid Sabiq :
“Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap
seperti orang yang mengutangkan, jangan kamu meminta keuntungan hartamu”. Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat,
"jika saudaramu membutuhkan sesuatu maka tanggunglah. Jangan kau meminta
darinya keuntungan dan manfaat". Paus Pius berkata "sesungguhya
pemakan riba mereka kehilangan harga diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan
mereka bukan orang yang pantas dikapankan setelah mereka mati".
Al-Qur'an menyinggung keharaman riba secara kronologis di berbagai
tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah swt. surat ar-Ruum ayat 39 :
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُضْعِفُون
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat untuk mencapai keridaan Allah,
Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya). (QS.: 30/39).
Pada priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang
keharaman riba, terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS: 3/130).
Dan ayat terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam
surat al-Baqarah 278-279
.يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
.فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُون
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
Ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya. (Q.S : Al-Baqarah : 278-279)
Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas
terhadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat
ganda. Allah tidak memperbolehkan pengembalian utang kecuali mengembalikan
modal pokok tanpa ada tambahan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas
riba adalah perbuatan haram, termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadis yang lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya,
tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan
riba sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
لَعَن
اللهُ ءَاكِلَ الرِّبَا, وَمؤْكَلَهُ, وَشَاهِدَيْهِ, وَكَاتِبِهِ. (رواه البخاري
و مسلم)
Artinya: "Allah melaknat pemakan riba, orang yang
memberikan makanya, saksi-saksinya, dan penulisnya". (HR. Bukhari dan
Muslim)
D.
Pendapat Para Ulama
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan illat (penyebab) yang
menyebabkan keharaman Riba an-nasiah dan riba al-fadhl.[6]
1.
pendapat
ulama hanafiyah
Dalam salah satu riwayat dari ahmad ibn hanbal menetapkan bahwa
yang menjadi illat keharaman riba al-fadhl adalah kelebihan barang atau harga
dari benda sejenis yang diperjualbelikan menggunakan a-wazn dan al-kail.
Berdasarkan illat ini mereka tidak mengharamkan jual beli pada rumah, tanah,
hewan, dan benda lain yang dijual dengan satuan, sekalipun sejenis, karena
benda-benda ini dijual berdasarkan nilainya bukan berdasarkan al-wazn dan
al-kail.
Adapun illat dalam keharaman riba an-nasiah menurut ulama hanafiyah
adalah kelebihan pembayaran dari harga barang yang ditunda pembayarannya pada
waktu tertentu.
2.
Pendapat
ulama malikiyah dan syafi’iyah
ulama malikiyah dan syafi’iyah berpendirian bahwa illat keharaman
riba al-fadhl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga
sesuatu, baik pada emas dan perak itu telah dibentuk, seperti cincin atau
kalung, maupun belum, seperti emas batangan. Oleh seab itu apapun bentuknya
emas dan perak, apabila sejenis tidak boleh diperjual belikan dengan cara
menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Dua gram cincin emas ditukar
dengan dua gram emas batangan. Jika dilebihkan diantara keduanya maka masuk
riba al-fadhl dan apabila kelebihannya dikaitkan dengan pembayran tunda maka
termasuk riba an-nasiah.
E.
Hikmah Keharaman Riba
Islam dengan tegas dan pasti mengharamkan riba. Hal itu untuk
menjaga kemaslahatan hidup manusia dari kerusakan moral (akhlak), sosial, dan
ekonominya.
Menurut Yusuf Oardhawi, para ulama telah menyebutkan paniano lebar
hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain:
1.
Riba
berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
2.
Riba
dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga
manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya. Hal ini akan memutus
kreativitas hidup manusia di dunia. Hidupnya bergantung kepada riba yang
diperolehnya tanpa usaha, Hal ni merusak tatanan ekonomi.
3.
Riba
menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang. Keharaman riba
membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung
pesan moral yang sangat tinggi.
4.
Biasanya
orang memberi utang adalah orang kaya dan orang yang berutang adalah orang
miskin. Mengambil kelebihan utang dari
orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmah Allah SWT.
Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan social.[7]
F.
Kesimpulan
Riba
berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak
peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang
meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.
Para ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara Riba
ini hukumnya Haram. Para ulam fiqh membagi riba menjadi Dua macam yatitu riba
Nasi’ah dan riba al fadhl.
Riba Nasiah adalah tambahan pembayaran
atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si
peminjam kepada yang meminjam tanpa risiko sebagai imbalan dari jarak waktu
pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.
Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang
kedudukannya sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan kata
lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah
yang sudah jelas keharamannya
Menurut Yusuf Oardhawi, para ulama telah menyebutkan paniano lebar
hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain:
1.
Riba
berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
2.
Riba
dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga
manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya.
3.
Riba
menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang.
4.
Biasanya
orang memberi utang adalah orang kaya dan orang yang berutang adalah orang
miskin. Mengambil kelebihan utang dari
orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmah Allah SWT.
Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan social.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen
Nasrun, fiqh muamalah (Penerbit Gaya
Media Pramata Jakarta, tahun2007)
Yusuf Qardhawi, Dr., al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Maktabah
al-Islamy, 1994), Cet. Ke-15
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah (Beirut: Dar
Al-Fikr,2006), Juz III
[1] Nasrun Haroen,
MA. Fiqh Muamalah, (Penerbit Gaya Media
Pramata Jakarta) Hal 182
[2]
Nasrun Haroen,
MA. Fiqh Muamalah, (Penerbit Gaya Media
Pramata Jakarta) Hal 182
[3]
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah (Beirut: Dar Al-Fikr,2006),
Juz III Hlm. 868.
[4] Satria Efendi,
Riba dalam Pandangan Fiqh, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm. 147
[5]
Quraish Shihab,
Riba Menurut al-Qur'an, Kajian Islam tentang Berbagai Masulah Kontemporer,
(Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm. 136.
[6]
Nasrun Haroen,
MA. Fiqh Muamalah, (Penerbit Gaya Media
Pramata Jakarta) Hal 186
[7] Yusuf Qardhawi,
Dr., al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Maktabah al-Islamy, 1994), Cet. Ke-15, hlm.
242-243
Komentar
Posting Komentar